Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com
Showing posts with label Cerpen Cinta. Show all posts
Showing posts with label Cerpen Cinta. Show all posts

Saturday, January 13, 2018

SEPENGGAL EPISODE

Raisa gadis yang cantik, cerdas, dan ramah. Matanya teduh berbulu lentik. Berwajah oval, sebaris bibirnya yang manis berhias senyum. Anggun perawakannya, menyiratkan laksa pesona kemilau pelangi. Sesiapa yang memandangnya, akan berbilur pesona taresna karenanya. 

Aku, dengan segala yang ada, meretas puing-puing rindu di telaga hati yang paling dalam. Dengan wajah gelimis, membentuk raut yang biasa. Hanya memburai debu-debu jalanan, di balik suci cinta yang aku karamkan di hati Raisa. Begitulah! Cinta bermula rindu, dan desah seruling asmara pun bertaut puja, berkalang puji. 

"Aku mencintaimu, Raisa," kataku di saat senja berlabuh. Raisa diam. Berpaling pada raut senja yang mewarna jingga. Ada rasa sesak di dadaku. Entahlah! Raisa mungkin tidak mencintaiku. Aku harus memahami, siapa aku sebenarnya. Wajah awam dan harta pun tak ada. Maka, Raisa tidak mungkin memilihku sebagai kekasih, pangeran, dengan keistimewaan yang mewarna. Tetapi, biarlah, cinta ini berlabuh di dermaga tak berair, tanpa riak gelombang. Aku terhempas di lembah luka, nestapa.
*** 

Waktu menabuh perjalanan. Detak detik pun berlalu bersama garis-garis nasib sang insan. Akhirnya, labuh cintaku berhilir di hati Anna. Dialah tempatku berkeluh kesah. Menumpahkan sisa cinta yang tercampakkan. Dan Anna, menerimaku dengan segala adanya. Cinta pun berpeluk rindu, berkubang asmara. Begitu pun dengan Raisa. Wajahnya yang cantik tidak sulit untuk memperoleh pendamping hidup. Raffi, adalah tempat ia berlabuh. Dengan kemewahan harta yang melimpah. Semula, semua berjalan dengan harap dan asa. Namun, seiring sang waktu, Raffi yang termasuk play boy kelas jet-set, kembali pada gejolak tak puas hanya dengan satu wanita. Raisa pun tersisih, terbuang, dan bahkan tercampakkan. 

"Mau ke mana lagi, Mas?" Malam itu Raisa berkata pada Raffi yang berbaju necis, memasuki mobil avanzanya.
"Urusanku!" Ketus, acuh, Raffi  menjawab tanpa menoleh.
 Dada Raisa bagai dihantam berjuta peluru kendali. Hatinya miris, teriris sakit. Air mata membuncah, jatuh di pipinya yang halus dan cantik. Sesal pun terkuak dari hatinya yang terdalam. 

"Inikah balasan dari salah pilih?" Raisa paham, bagaimana sakitnya hatiku saat ditolak cinta. Bukan! Bukan hanya penolakan, tapi lebih dari itu, sebuah penghinaan. Aku dilecehkan. Aku dihinakan. Hanya karena aku bukan orang berharta. Tentu aku sakit hati. Tapi, begitulah kehidupan. Rencana Tuhan, jauh lebih lebih indah dari yang kita perkirakan. 
"Hanya karena aku miskin?"
"Tentu!"
"Tidakkah harta itu hanya titipan?"
"Itu menurutmu. Menurutku, harta itu yang akan membuatku bahagia!"
"Subhanallah," aku mengelus dada. Sakit!
*** 

Aku bahagia dengan keadaanku saat ini. Meski episode cinta pertamaku adalah Raisa. Tapi, Tuhan memberikan jalan lain untukku. Anna adalah yang terakhir, meski bukan yang pertama. 

"Mas, ada tamu di luar," Anna, istriku berkata pagi itu.
"Siapa?" Jawabku.
"Entah! Coba saja lihat di luar." Jawab istriku. Aku letakkan majalah sastra yang tengah kubaca. Kemudian aku melangkah ke luar. Betapa aku terkejut, ternyata di luar Raisa berdiri dengan raut kesedihan. 
"Kok ada di sini?" Aku bertanya heran padanya. Ia hanya menunduk. Raut wajahnya semakin buram, muram. Ada laksa kepedihan yang ia tahankan. 
"Mas, suruh masuk saja!" Istriku berkata dari dalam. Aku pun mengajak Raisa masuk. Ada rasa enggan pada mulanya. Tapi, setelah dipaksa, akhirnya ia pun mau. 
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Raisa?" Di ruang tamu kami berbincang. Raisa terlihat begitu sedih. Dari kelopak matanya yang lentik, air mata membasahi pipi. Masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya. Tentu, rasa itu, yang dulu pernah hadir di kelopak hatiku, masih terus membayang. Menampilkan diorama kisah cinta yang lalu terkikis oleh bingkai zaman. 
"Anna adalah bagian dari jiwaku," aku mencoba menenangkan pikirku dengan realitas hidup. 

Kemudian Raisa bertutur. Menceritakan kisahnya yang pilu. Hidup dengan Raffi adalah neraka. Tidak ada keharmonisan. Semua berakhir dengan derai air mata. Ia tercampakkan. Hatinya lebur, hancur oleh ulah suaminya. Kata-kata kotor begitu mudahnya terlontar. Pukulan dan tamparan begitu saja melayang. Begini salah, begitu salah. Tidak ada sejumput harmonis yang bisa ia dapatkan dari pernikahan itu. Raisa menyesal. Menangis di dalam pelukan Anna yang mencoba menenangkannya. Aku galau, di antara persimpangan pikiran yang tak bertuju. 

Entahlah! Aku menatap langit-langit rumahku. Siluet diorama masa lalu terbayang di benakku. Saat aku terdampar, terkapar oleh jalinan cinta yang terbakar. Sementara, di depanku kini, pelakon drama kehidupan cinta itu ada. Mengisahkan segala kemelut keadaan cintanya. Menceritakan penyesalannya. Dengan derai air mata yang terus tertumpah. Aku mengelus dadaku. Begitu sakit, bergetar amarah yang meluap. 

"Tak perlu Kau kasihani!"
"Maafkanlah! Ia telah menyesal dengan perbuatannya."
"Jangan! Ia perempuan yang telah mencampakkanmu!"
"Tidak! Memaafkan itu jauh lebih utama!" 

Begitulah! Keadaan menghentak hatiku. Dadaku bergoncang. Antara marah dan rasa kasihan. Aku berada di persimpangan. Ragu menghantam hatiku. 

"Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?"
*** 

Anna adalah yang terakhir bagiku. Dialah matahariku, mutiara yang selalu merbakkan bunga-bunga cinta. Aku mencintainya. Sungguh, aku adalah jiwanya. Dan dia adalah bagian dari jiwaku. Apa pun yang terjadi, Anna adalah sepenggal napas yang selalu kuhela dalam setiap tarikan detak jantungku. 

"Mas, sudah sekian lamanya kita menikah," kata Anna suatu hari.
"Ya, kenapa?" Jawabku acuh tak acuh.
"Tapi,...kita belum dikaruniai si buah hati."
"Tuhan belum berkenan."
"Aku khawatir, Mas!"
"Sabar, dan terus berdoa!" 

Memang benar. Sampai detik ini aku belum dikaruniai si buah hati. Seorang anak yang akan menjadi pelipur duka. Menjadikan suasana indah bersama celoteh nakal anakku. Itu semua hanya sebuah fatamorgana. Hayalan-hayalan yang terus saja membayang. Menghantam relung hatiku. Meski aku tidak pernah putus pengharapan, karena setiap aku dan istriku memeriksakan diri ke dokter, ia menjelaskan bahwa aku dan Anna, istriku, sehat-sehat saja. Hanya saja, Allah swt belum berkenan memberinya. 

"Aku rela,... Mas menikah lagi," senja ini Anna berkata sambil merebahkan wajahnya di bahu kiriku. Aku tersentak, kaget. Tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
"Makdud kamu, An?"
"Raisa mencintaimu dengan sepenuh jiwa." Aku semakin terkejut.
"Tidak!" Kataku tegas. "Aku tidak ingin terluka untuk kedua kali. Dan Engkau tahu itu!" Aku tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Anna berbicara begitu. Tentang Raisa, orang yang tidak ingin aku ingat lagi namanya. Tapi ini Anna yang memulai. Istriku yang sudah menjadi bagian dari darah dan dagingku. Aku tidak ingin menyakiti hatinya sedikit pun. Anna telah menyembuhkan luka dalam, di relung hatiku. "Tolong, jangan katakan itu lagi," aku memandang Anna. Di telaga matanya ada bulir air mata. Aku percaya, cinta Anna padaku tak akan pernah surut. Sampai kapan pun. Anna tersenyum. Teduh wajah itu berhias bibir takwa. Sebening biru langit di senja itu. Kemudian ia bertutur. Bahwa Rasul pernah bersabda;

"Cintailah seseorang itu secara biasa-biasa saja, karena bisa jadi orang kamu cinta menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah terhadap seseorang itu secara biasa-biasa saja, sebab bisa jadi orang kamu benci menjadi orang yang kamu cintai." 

Mengapa harus Raisa? Tak adakah wanita lain dari dia? Meski harus kuakui bahwa di balik benci tersimpan cinta, di balik marah ada rindu. Tapi, waktu telah mengikis segalanya. Aku telah berusaha tuk melupakannya. Dan itu bisa dengan datangnya cinta Anna. Oh, betapa sebuah si malakama. Ketika Anna, dengan mahkota cinta suci, menawarkan sebentuk cinta lama. Elegi kasih yang tumpah di alam mayapada. Aku gugu dalam mangu yang sunyi, sepi. 

"Sungguh! Aku ingin Raisa menjadi bagian dari kisah hidup kita." Anna kembali berucap tentang Raisa. Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi antara keduanya. Adakah konspirasi rahasia? Mungkinkah tersirat ikatan janji? Aku masih percaya Anna, sebagaimana ia tidak mungkin berbuat tidak baik terhadapku. Sekian lamanya aku berumah tangga dengannya, pastinya kami sudah paham luar-dalamnya hati kami masing-masing. 
"An, sebegitu pentingkah Raisa dalam hidupmu?"
*** 

Raisa terbaring tidak berdaya di ruang ini. Sebuah Rumah Sakit paling baik di kotaku. Bau obat-obatan khas menyeruak di rongga hidungku. Semula aku menolak diajak Anna untuk menjenguk Raisa. Rasanya sudah tidak perlu lagi. Tapi, Anna begitu merajuk. Ada semacam ikatan batin yang teramat kuat di antara mereka. Aku pun meloloskannya. Kupandangi tubuh Raisa yang tak berdaya. Selang infus menembus lengan kirinya. Tetes-tetes air itu kulihat satu-satu jatuh dari dalam tabung. Mengalir ke tubuh Raisah yang terlihat kurus. Kupandangi matanya, terpejam. Lentik bulu matanya masih terlihat. Bibirnya yang pucat, seakan menerbitkan senyum. Cepat-cepat aku berpaling. Sedikit demi sedikit mata Raisa terbuka. Air mata mengalir di pelupuk matanya. Anna dengan cekatan mengambil tissu dan membersihkannya. Raisa tersenyum. 

"Terima kasih An! Kau mau datang," bisik Raisa hampir tak terdengar.
"Aku datang bersama Mas ***r. Kau harus cepat sembuh!"
"Benarkah?" Sinar matanya berbinar. Wajahnya terlihat cerah. Ada gumpal bahagia karenanya.
"Benar, Raisa!"
"Maafkan aku, An!"
"Tidak ada yang perlu dimaafkan!"
"Aku telah merepotkanmu!"
"Tidak! Aku tidak merasa repot."
"Tak ada duanya, hati yang setulus hatimu, An!"
"Lupakan saja!" 

Kemudian Anna menarik tanganku. Dipertemukannya tanganku dengan tangan Raisa. Aku menurut saja. Meski ini di luar mauku. Agama pun melarangnya. Tapi, kuanggap ini sebuah mudharat. Aku menggenggam tangan Raisa erat. Seakan kualirkan energi positif kepadanya. Kulihat mata Raisa kembali mengembang. Air mata mengalir deras. 

"Maafkan aku, Mas!" Aku tidak menjawab. Tepatnya, tidak mampu menjawab. Air mataku tumpah. Bagaimana pun, Raisa pernah ada dalam hidupku. Cinta Raisa pernah bersemayam di relung hatiku. Ia pernah mewarnai bilik hatiku dengan cinta. Sepenggal episode yang ia campakkan karena mengira cinta itu terdapat pada harta. Dunia telah menipunya. Tiba-tiba pegangan tangan Raisa lepas. Matanya terpejam. Sekuntum senyum terpaku di bibir indahnya. 
"Tidaaa....k," Anna menjerit sejadi-jadinya. Aku mendesah, "Innalillah wainna ilaihi roji'un." Para awak medis terburu-buru datang. Mereka berusaha merebut nyawa Raisa dari takdir. Bergumul dengan Malaikat Maut. Berupaya mengembalikan napas Raisa yang tersendat. Aku masih sempat melihat, senyum Raisa yang ranum. Dan lirik sinar matanya yang teduh ranau. 

"Adakah aku jatuh cinta lagi?"
***
x

Wednesday, March 5, 2014

RIMBA



RIMBA


Di belantara itu, pohon-pohon besar menjulang. Rimbun daun menutupi cahaya mentari. Hanya berkas-berkas kecil yang mampu menerobos lebatnya daun. Sejauh mata memandang, hijau bertebaran. Bunyi binatang bersahutan. Kicau burung menambah suasana belantara yang masih tak terjamah. Masih perawan.

Rimba berdiri kokoh di bawah pohon besar. Matanya yang tajam, awas. Badannya kekar. Tidak terlalu tinggi. Kulitnya legam, hitam bersih. Rambutnya gondrong bergelombang. Ikat kain hitam melingkar di kepalanya.

Rimba adalah anak rimba, hutan belantara. Ia hidup sebatangkara. Hanya dengan ibunya. Satu-satunya keluarga yang ia ketahui. Dari ibu ia tahu bagaimana cara memanah. Bagaimana berburu yang baik. Bagaimana menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak boleh sembarangan menebang pohon. Apalagi merusaknya. Ia tahu bagaimana bersikap dengan alam. Ia paham bagaimana cara bergaul dengan binatang. Bahkan, binatang buas pun menjadi teman bercengkrama. Rimba, itulah Rimba. Anak rimba yang paham, bagaimana cara melestarikan hutan rimba.

Rimba juga diasuh oleh alam. Kerasnya hidup di hutan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Cuaca ekstrem dan lingkungan alam, adalah guru Rimba yang mengajarkan kekuatan. Kesabaran. Ketabahan. Ketekunan.

Rimba merasa heran. Mengapa ia hanya berdua dengan ibunya. "Kemana Bapak?" Pikir Rimba suatu hari. Selama ini Rimba tidak tahu ke mana bapaknya. Ibunya pun tidak pernah memberitahukan tentang keberadaan bapaknya.

"Ibu, Bapak Rimba di mana?" Suatu hari Rimba memberanikan diri bertanya pada ibunya.
"Saatnya Engkau tahu Rimba." Kata ibu sambil memandang kasih kepada anaknya.
"Maksud Ibu?" Tanya Rimba heran.

Kemudian Ibu Rimba berkisah.

"Sungguh aku mencintainya, Bapak! Aku rela menjadi istrinya, apapun yang akan terjadi."
"Keparat anak durhaka. Enyahlah Engkau dari rumahku!"

"Sejak itu Ibu dan Bapakmu pergi. Pergi karena keegoisan adat. Aku tidak direstui menikah dengan bapakmu. Hanya karena bapakmu seorang rakyat biasa. Sejak itulah, Ibu dan Bapakmu pergi. Pergi sejauh mungkin. Melintasi belantara. Mengarungi hutan belukar. Kemudian terdampar di tempat ini." Ibu Rimba mengakhiri kisahnya. Dari sudut matanya, mengalir telaga bening. Ia terisak, menangis.
"Jangan sedih, Ibu. Kini Rimba sudah besar. Rimba akan menjaga ibu dengan segenap jiwa."
"Terima kasih anakku!"
"Tapi, Bapak dimana Bu?"
"Bapakmu meninggal saat Kamu masih berumur tiga bulan." Ibu Rimba mencoba mengingat lagi peristiwa beberapa tahun silam.

Bapak Rimba meninggal ketika ia berusaha menangkap ikan. Sore itu ia akan memasak ikan untuk istri dan anaknya yang masih kecil. Tapi, malang. Bapak Rimba terpeleset dan hanyut oleh arus sungai yang deras. Sejak saat itu, ibu Rimba sendiri. Mengatasi segala masalah tanpa dibantu siapa pun. Jiwa anaknya, Rimba, yang membuat ia tegar menghadapi beragam bentuk persoalan. Semula ibu Rimba mau kembali ke kerabatnya. Sanak keluarganya. Tetapi ia urungkan. Karena ia sadari, bahwa ia dan anaknya akan terus dihinakan. Dicampakkan. Bahkan, yang lebih tragis lagi akan dihukum pancung.

Waktu pun terus berlalu. Rimba tumbuh menjadi anak yang sehat. Cerdas. Alam telah membuatnya kuat. Rintangan alam telah dapat ia lalui. Ia  pandai memanah. Berburu. Menangkap ikan. Melompat dari pohon ke pohon. Kerap kali, ia pun membantu binatang yang terkena musibah. Ia bersahabat dengan banyak binatang buas.

"Kenapa kamu, Gori?" Suatu hari Rimba mendapati Gorila tergelatak lemas di pinggir telaga.
"Kena tembak," jawan Gorila pendek. Meringis, sambil memegang sisi kanan perutnya yang keserempet peluru.

Dengan cekatan Rimba menolong si Gorila. Membersihkan luka itu dengan air bersih, hangat. Dikompres. Kemudian dengan kepandaian dan kecerdasannya, Rimba mencari daun obat-obatan. Digerus, kemudian ditempelkan di tempat luka dan dibebat dengan kain bersih.

"Terima kasih, Rimba," kata Gorila sambil tersenyum memandang wajah Rimba.
"Sama-sama," jawab Rimba, juga tersenyum.

Bersahabat dengan binatang buas bukan hal yang mustahil. Nyata, hewan pun punya emosional empati terhadap manusia. Banyak kasus, manusia bisa beraudiensi dengan singa, macan, buaya, dan lain-lain. Mengapa? Maluri cinta dan kasih sayang adalah jawabannya.

Pada suatu hari, Rimba dihadapkan pada kenyataan. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin menjarah kayu di hutan. Ini bukan perkara gampang. Karena yang dihadapi adalah manusia berhati setan. Menghalalkan segala macam cara, untuk memcapai tujuan.

"Kalau di sini, tidak akan ada seorang pun yang akan menangkap kita," si jangkung kribo berkata pada teman-tamannya. Mungkin ia pimpinannya.
"Tidak ada jejak manusia di sini," timpal si rambut cepak. Ia meraba-raba pohon besar di hadapannya.

Rimba menguping pembicaraan itu dari balik dahan. Pohon yang sangat besar tidak jauh dari lokasi itu. Rimba memotar otak. "Ini harus hati-hati," katanya dalam hati.

Ada lima orang dalam rombongan pencurian kayu itu. Jika Rimba nekat menghadapi mereka, pasti ia akan mati konyol. Mereka punya senjata. Mereka juga punya hati yang kejam. Tidak pandang siapa kawan, siapa lawan. Terlihat mereka masih kelelahan. Mungkin karena perjalanan yang sangat jauh.

Kemudian Rimba memutuskan untuk mengirim pesan melalui anak panah. Di anak panah tersebut digantungkan secarik kertas dengan catatan:

"Jangan pernah menebang pohon di sekitar ini! Kalau tidak, pasti Anda celaka!"

Tiba-tiba, "wessss,....plak," anak panah itu melesat dan tertancap di batang pohon yang disandari oleh si jangkung. Ia terkejut bukan kepalang.

"Siapa?" Sergahnya sambil awas sekeliling. Matanya melihat ke sana ke mari. Jelalatan dan terlihat garang. Rimba tetap dalam persembunyiannya. Keempat kawannya pun ikut panik. Melihat sekeliling. Heran dengan apa yang terjadi.

Si jangkung mengambil kertas di anak panah. Membacanya. Ia terlihat takut. Wajahnya pias. "Berarti di sekitar ini ada penunggunya," gumamnya.

Tiba-tiba lagi sebuah anak panah yang lain melesat. Tepat mengenai baret yang dipakai salah satu penjarah. Sengaja Rimba hanya membidik tutup kepalanya saja. Tidak untuk melukai, juga tidak untuk menyakiti. Hanya ingin agar mereka sadar, bahwa perbuatan mereka akan merusak ekosistem. Banjir. Dan kepunahan satwa.

"Di sini tidak aman. Kita pergi saja!" Salah seorang mengusulkan.
"Ya, benar. Seperti ada penunggunya." Timpal yang lain.
"Ya, kita pergi saja," si jangkung akhirnya menyetujui, kemudian dengan tergesa mereka mengambil langlah seribu. Dari dahan yang rimbun, Rimba tersenyum puas, menang.
***

Sekitar umur enam tahun, Rimba pernah masuk ke sebuah perkampungan. Semula orang-orang sebayanya merasa takut. Tetapi, lama kelamaan mereka menyambut Rimba dengan tangan terbuka. Mereka bermain, bekejaran. Bahkan Rimba pun belajar cara membaca dan menulis. Rimba anak yang cerdas. Hanya beberapa kali ia belajar, dalam waktu singkat pun ia dapat menguasai. Rimba juga anak yang baik. Ia suka menolong. Sehingga ia disukai oleh orang-orang di kampung itu.

Salah seorang gadis di kampung itu jatuh hati pada Rimba. Bukan karena Rimba tampan, lebih dari itu karena ia baik hati dan suka menolong. Riba tahu diri. Tidak mungkin ia membawa gadis cantik itu ke alamnya. Meski mereka sama-sama suka, tetapi Rimba menolaknya.

"Jangan Arimbi. Kita berbeda alam. Tetaplah di sini. Pada saatnya nanti, Engkau akan dipinang oleh lelaki yang setara denganmu." Rimba berkata sedih kepada Arimbi, sesaat sebelum ia kembali ke alamnya. Di rimba belantara. Hutan dengan binatang buas yang ada di dalamnya.
"Tapi, aku mencintaimu, Rimba," Arimbi mencoba memaksa.
"Sekali lagi jangan Arimbi. Engkau tidak akan kuat bersamaku."

Pada akhirnya mereka pun berpisah. Rimba kembali ke habitatnya. Menemui ibunya. Menyambut sorak sorai teman-temannya. Hewan, pepohonan, riak arus sungai, dan tumbuhan belukar. Jiwa Rimba adalah jiwa mereka. Hidup untuk kelestarian habitat hutan.
***
Waktu semakin meluruh, menghantar masa pada ujung suasana. Ibu Rimba sudah semakin renta. Ia sudah semakin berumur. Umur pun sewaktu-waktu bisa menjemputnya.

Suatu hari Ibu Rimba yang sedang terbaring sakit, memanggil anak semata wayang. Ada sesuatu yang ingin Ibu ungkapkan.

“Rimba anakku, Ibu sudah semakin tua. Sebentar lagi Ibu akan pergi. Pergi untuk selama-lamanya. Jaga diri baik-baik, Nak!” Seakan sebuah firasat jika tidak lama lagi Ibu Rimba akan meninggal dunia.
“Jangan berkata begitu, Bu. Rimba masih ingin bersama Ibu.” Kata Rimba di samping ibunya yang terbaring sakit.
“Tapi umur itu terbatas, Nak. Tidak mungkin Ibu akan hidup kekal selamanya,” tersedak suara ibu dalam kesenyapan suasana.
“Benar Bu. Tapi Ibu tidak boleh berkata seperti itu,” Rimba pun terharu dengan air mata mulai menetes dari sudut matanya.

Rimba tergugu dalam tangis pilu. Ia memeluk ibunya yang selama ini telah membesarkannya. Kini, ibu itu sudah terlihat tidak berdaya. Nafasnya sudah tersengal. Dadanya turun naik. Masih ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi, ibu telah melakukan semuanya. Untuk anaknya. Untuk lingkungannya. Kini, saatnya ia pergi. Istirahat untuk selama-lamanya.

Maka dengan senyum mengembang, Ibu Rimba pun menghembuskan napas terakhirnya. Inna lillahi wainna ilaihi roji’un. Kami milik Allah, hanya kepada Allah jua kami akan kembali.

Rimba menjerit. Menangis atas kepergian ibunya. Tetapi demikianlah hidup. Pada saatnya nanti yang hidup akan meninggal dunia. Akan mengalami tidur panjang. Dan menemui Tuhannya.
***

Air mata sudah menyusut. Rimba ikhlas dengan apa yang terjadi. Ia tegar dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Rimba melihat ke depan. Jauh ke balik rimba. Di belantara hutan. Untuk memberikan yang terbaik bagi kelestarian lingkungan.

Rimba akan memberikan hidupnya untuk rimba. Ia akan terus bekerja, berusaha untuk kebaikan hutan dan segala isinya. Biar bumi tetap hijau. Biar paru-paru dunia tetap tegap, sehat menuju generasi ke generasi berikutnya. Menyeimbangkan kehidupan yang harmonis. Demi kebahagiaan hidup dan berkehidupan bahagia. Sepanjang hayat. Sepanjang masa. Selamanya.

Madura, 27 November 2013




Sunday, February 16, 2014

GADIS DI BALIK JENDELA



GADIS DI BALIK JENDELA
 
Sumber gambar: http://id.upphotos.net/gadis-anak-kereta-jendela.html
Setiap pagi, saat matahari terbit, aku selalu membuka jendela. Meski sudah terlihat tua, tapi kusen kayu itu --entah kayu apa namanya-- masih kokoh menyangga daun jendela. Ada bunyi derit dari engsel jendela tiap kali aku membukanya. Maka, pada saat itu aku bisa leluasa memandang, menatap ke luar. Angin pagi yang sejuk, sepoi menyeruak menerpa wajahku. Terasa nyaman meski sedikit agak dingin. Sendiri, aku tersenyum diterpa sinar mentari dari balik jendela yang menghadap ke timur.

Jauh di sebelah sana, tanah lapang membentang luas. Atau agak luas, tepatnya. Pada hari-hari tertentu, banyak anak-anak bermain di sana. Berbagai permainan yang mereka lakukan. Layang-layang, sepak bola --bolanya dari buntelan plastik atau kain--, gobak sodor, petak umpet, dan sebagainya. Ramai, ceria, dan nampak begitu gembira.

Dari balik jendela kamarku, aku menatap mereka. Leluasa. Dan anehnya, aku merasa juga terlibat dalam permainan mereka. Sungguh, sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku. Dari balik bingkai jendela, aku bermain layang-layang, bermain sepak bola, bermain kejar-kejaran, dan berbagai macam permainan lainnya.

Aku hidup sendiri. Sebatang kara. Aku tidak tahu siapa bapak dan ibuku. Aku juga tidak tahu siapa paman atau bibiku, kakek dan nenekku, serta siapa kakak atau adikku. Yang aku tahu, aku hidup sendiri, tidak punya siapa-siapa.

Aku juga tidak tahu, siapa yang membuatkan aku rumah. Gak ding! Tepatnya gubuk, dengan kamar dan jendela menghadap ke arah terbit matahari. Aku tidak tahu. Yang kutahu, aku anak cacat. Kedua kakiku tidak ada. Hanya ada sedikit benjolan dari pangkal kedua paha, hingga aku bisa duduk. Kedua tanganku lengkap. Dan anggota tubuh yang lain juga ada. Bahkan, kata bisik-bisik orang, aku ini cantik.

"Kasihan sekali. Anak itu sebenarnya cantik!"
***

Hari Minggu. Nampak di lapangan banyak sekali anak-anak bermain. Sebaya, ya kurang lebih seumuran denganku. Begitulah! Tiap ada anak-anak bermain di lapangan, aku merasa, --sekali lagi ini perasaanku saja-- aku ikut serta dalam permainan mereka. Tentu saja sangat mengasyikkan bukan?

"Tika, ayo main!" Salah seorang di antara mereka memanggilku.
"Main apa?"
"Main bola!"
"Lhoo, aku kan perempuan?!"
"Gak apa-apa!"

Aku pun terjun dalam permainan sepak bola. Perasaanku, kedua kakiku utuh. Hingga aku bisa menendang, mengoper, dan menggiring bola. Bahkan, meski aku seorang perempuan, aku termasuk bintang lapangan. Hehee, aneh kan? Tapi begitulah!

Sebenarnya, aku tidak pernah keluar rumah. Aku hanya duduk di dalam kamar. Pada sebuah amben yang sudah termakan waktu. Tapi masih cukup kuat kalau hanya untuk menyanggaku. Di kamarku juga ada kursi. Tidak jauh beda keadaannya dengan amben. Sudah terlihat tua. Namun masih kokoh untuk sekadar aku duduk di atasnya. Nah, dari atas kursi itulah sering kali aku menatap ke luar. Melalui jendela yang pasti kubuka lebar-lebar tiap pagi. Dan aku turut serta apa kata alam di luar sana.

"Aduh, sulit ya kayaknya?! Untuk meyakinkanmu bahwa aku juga bisa bermain, berkejaran, serta menikmati alam. Ya, hanya dari jendela. Bingkai jendela ini yang membantuku. Terima kasih, Jendela!"

Nyatanya, aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak bisa bekerja untuk mendapat uang. Aku tidak bisa berjalan, layaknya teman-temanku yang lain. Aku hanya bisa --sedikit-sedikit-- membersihkan kamarku, pekarangan, dan sekitarnya. Tentu saja dengan cara beringsut, ngesot --teringat dengan suster ngesot--, atau melata. Dengan cara begitu aku bisa memindahkan tubuhku.

Makan? Tentu saja aku makan. Kalau tidak, mana bisa hidup? Dari mana? Itulah! Tuhan selalu ngasik jalan bagi orang-orang yang disabilitas. Seperti aku ini. Bahkan yang lebih miris daripada aku, juga banyak kok! Mereka masih bisa makan. Bagaimana caranya? Hem, entahlah!

Masih ada orang-orang kasihan melihat keadaanku. Kemudian mereka mengirimiku makanan. Ala kadarnya. Kadang juga makanan yang enak-enak. Meski aku malu, tapi karena perut lapar, ya aku makan juga. Aku terima makanan pemberian itu dengan ucapan terima kasih.

"Terima kasih, Bu De!" Ucapku hari itu ketika seseorang yang sangat kukenal mengantarkan makanan. Dia adalah Bu De Rahma. Tahunya aku, dia dipanggil De Rahmah. Seterusnya, aku tidak tahu seluk beluk orang yang selama ini kuanggap paling perhatian terhadapku. De Rahmah hanya tersenyum mendengar aku mengucapkan terima kasih.

Tidak hanya De Rahmah yang mengantarkanku makanan. Tetangga yang lain juga. Tanpa dinyana, seperti terjadwal sendiri. Atau bahkan terkadang sama-sama ngirim di hari yang sama. Jadinya, makanan di rumahku banyak. Bukan melimpah, lhoo!

Sebenarnya aku merasa malu dengan hanya mengharap pemberian orang. Tapi mau gimana lagi? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menyeret tubuhku sendiri saja, aku merasa kesulitan. Entahlah! Ini sebuah ujian atau tidak. Aku juga tidak tahu, seperti apa seharusnya menyikapi suatu ujian dan cobaan. Yang penting, di hari itu aku bisa mengisi perut. Bisa buat untuk bertahan hidup.

Tidak selamanya aku bisa makan. Sebagaimana tidak selamanya De Rahma atau tetangga yang lain sempat mengirimiku makanan. Entah karena sebab apa? Kadang sampai dua atau tiga hari, tak seorang pun mengirimiku makanan. Aku hanya pasrah dalam lapar yang melilit. Perutku berbunyi kriyuk-kriyuk minta diisi. Tapi aku hanya diam, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap, "Semoga makanan segera datang."
***

Malam mulai beranjak. Sekitar pun mulai gelap. Di rumahku tidak ada listrik. Hanya kelap-kelip teplok yang kubuat dari kaleng bekas dan kapas yang kupintal sendiri. Dengan minyak tanah, aku bisa menghidupkan damar conglet tersebut. Jendela masih terbuka. Malam belum begitu larut. Bulan separuh purnama mengintip di balik rimbun bambu, nun jauh di sana. Cahayanya sebagian menerabas jendela. Menyinari wajahku di malam sunyi itu. Beberapa anak tetangga bermain di bawah cahaya bulan. Aku pun 'merasa' turut serta dalam permainan mereka. Berlari, berkejaran main petak umpet.

"Hai, Tika ketemu!" Seru teman-temanku saat aku ketahuan di tempat persembunyianku. Aku pun bersorak, girang.

Malam pun beranjak larut. Aku menutup jendela. Maka sunyi pun terasa. Senyap dalam kesendirianku. Aku mulai menarik selimut. Untuk segera berlayar di alam mimpi. Tidur.

"Apakah aku mimpi?" Pagi-pagi aku terbangun. Hari masih agak gelap. Mar samar muwa. Beberapa waktu lagi matahari akan muncul membilaskan sinarnya. Aku duduk terpaku di amben. Seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Terutama di pangkal pahaku. Aku masih berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

Seseorang berjubah putih, masuk kamarku lewat jendela. Padahal, biasanya aku pakal pakek grendel yang sudah berkarat.

"Apa aku lupa?"

Aku beranjak mendekati jendela. Benar saja, grendel tidak aku pasang. Aku mungkin lupa, semalam kurang teliti. Lagian, siapa yang mau masuk ke rumahku? Aku tidak punya apa-apa untuk dicuri.

Ya, aku ingat. Orang itu berjubah putih. Mendekatiku dengan cara mengendap-endap. Ternyata ia ingin berhubungan badan denganku. Aku berontak. Aku tidak mau. Bagaimanapun bodohnya, aku mengerti kalau perbuatan itu dosa. Sekuat tenaga aku bertahan. Tapi, tenagaku tidak berdaya. Ditambah lagi dengan kondisi fisikku yang tak sempurna. Jadinya, malam ini kegadisanku lesap. Hilang entah ke mana. Tapi,... Mimpikah?

Aku memang tidak pernah mengaji. Apa lagi sekolah. Jadi aku ini buta huruf, tidak tahu apa-apa. Sekarang umurku sudah 18 tahun. Tentu alat reproduksi dalam tubuhku normal. Layaknya wanita kebanyakan. Sejak umur 14 tahun aku sudah mengalami menstruasi. Kesimpulannya, selain fisik, aku ini gadis belia yang normal.

Siapa gerangan orang berjubah putih itu? Malaikatkah? Hemm, sesuatu banget. Mana mungkin?! Antara sadar dan tidak, sebelum beranjak pergi ia berbisik di telingaku.

"Aku mencintaimu, tetapi sulit untuk menyatukan cintaku padamu!"

Waktu terus berlalu. Melewati hidupku dari waktu ke waktu. Selang beberapa waktu kemudian, ada sesuatu yang aneh dalam perutku. Bahkan kadang aku mual-mual dan muntah. Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Hingga suatu waktu, saat aku muntah-muntah De Rahma datang untuk mengantarkan makanan. De Rahma terkejut melihat keadaanku.

"Kenapa, Tika?" Semacam ada rasa kwatir di wajah De Rahma. Ah, itu mungkin hanya perasaanku saja.
"Gak tahu, Bu De!" Jawabku apa adanya.

Kemudian aku menceritakan perihal mimpiku. Mimpi? Aku anggap saja itu mimpi. Meski pada akhirnya nyata, biarlah! Aku juga tidak ingin hal ini terjadi pada diriku. De Rahma mendengarkan ceritaku dengan saksama. Nampak dari raut wajahnya, rasa heran. Mungkin juga terkejut. Atau, entah apa namanya.

"Benarkah, Tika?"
"Ya, De!  Saya tidak berbohong!"
"Jin atau malaikat?"

Sejak itu, perutku semakin membesar. Benar, aku telah hamil. Janin dalam perutku, entah siapa ayahnya. Terkadang aku menangis, ketika teringat dengan keadaanku. Mampukah aku merawat dan membesarkannya? Aku tidak bisa berbuat banyak. Dari balik jendela, aku memandang jauh ke luar. Aku mengelus perutku yang semakin membesar. Gerimis di luar sana mulai turun. Seiring air mataku menetes di pipi.

Hingga waktunya pun tiba. Aku merintih kesakitan. Ditemani De Rahma yang begitu prihatin melihat ke adaanku. Aku akan melahirkan. Ya, sebentar lagi aku akan punya anak. Meski aku tidak tahu siapa bapaknya.

Beberapa lama kami menunggu. Aku juga sudah tidak merasakan sakit. Tapi tidak ada bayi. Tidak ada tangisan. Diam dalam sepi yang sunyi. De Rahma pun bingung. Bayi yang ia tunggu tidak ada. Benar-benar tidak ada. Hanya air ketuban yang keluar dari rahim Tika. Selebihnya tidak ada. Termasuk juga ari-ari, tidak ada.

Inikah yang dalam ilmu medis disebut pseudocyesis? Janin yang tiba-tiba hilang tanpa sebab. Atau kalau dalam adat tertentu disebut ekakan sombilang? Semua masih misteri.

"Bangunlah Tika! Mungkin bayimu telah dibawa malaikat." Begitu kata De Rahma, masih dalam keheranannya. Aku pun bangun. Tidak merasakan sakit. Tubuhku sehat sebagaimana sedia kala.

Waktu pun terus berlalu. Aku tumbuh menjadi gadis yang cantik, selain cacatku, yang tanpa kedua kaki. Hingga pada suatu saat, De Rahma datang tergopoh-gopoh ke rumahku. Tidak seperti biasanya, beliau tidak membawa makanan.

"Tika, ada yang ingin melamarmu." Serasa berbisik di hadapanku. Aku terkejut.
"Apa Bu De?" Aku ingin keyakinan dari informasi yang De Rahma sampaikan.
"Ada yang ingin melamarmu. Benar, ini bukan bohong." Aku hanya melongo. "Bu De sendiri yang disuruh memberi tahumu." De Rahma mencoba meyakinkanku. Aku hanya tergelak. Bagaikan sebuah mimpi. "Adakah orang yang mau denganku, orang tidak sempurna ini?"

Tetapi, begitulah takdir. Rahasia alam. Tidak bisa dihitung secara matematis. Semula aku menolak lamaran laki-laki, tetangga desa sebelah. Hingga kemudian, ia, Hasim namanya datang padaku dan menyatakan jeseriusannya.

"Mas tahu kan, kondisi tubuhku?"
"Aku tahu semuanya."
"Aku gak punya kaki, Mas!"
"Tapi, itu tidak menghalangi cintaku. Aku mencintaimu apa adamu!"

Begitu mantap kesan yang kurasakan atas kata-kata Mas Hasim. Aku tidak melihat kebohongan. Maka semai cinta pun berpadu di telaga asmara yang berbunga cerita rindu. Kami pun diikat oleh kekuatan pernikahan. Dalam mahligai keluarga bahagia.

Setelah aku menikah dengan Mas Hasim, dalam mimpi aku seringkali didatangi oleh orang berjubah putih. Ya, seperti yang pernah datang sebelumnya untuk mengambil perawanku. Tapi kali ini, ia datang tidak untuk itu. Melainkan, mengajariku bacaan-bacaan Quran. Seperti Fatihah, doa-doa, dan surat-surat pendek lainnya. Aku bersyukur, ternyata Mas Hasim adalah orang yang dianggap lebih dalam pemahaman agama. Maka sedikit demi sedikit, aku pun diajari melaksanakan kewajiban agama. Dan aku tidak merasa kesulitan dalam memahami dan melaksanakannya.

Dan inilah takdir. Tersebab oleh orang berjubah dalam mimpiku, serta ajaran dari suamiku, entah bagaimana asalnya, kemudian aku dipercaya oleh orang-orang untuk mengobati berbagai macam penyakit. Tidak hanya itu, problematika kehidupan lainnya pun sering berkonsultasi denganku. Aku hanya menjelaskan, bahwa apa pun itu, dalam kehidupan ini datangnya dari Allah swt. Manusia sebagai hamba, hanya bisa ikhtiar atau usaha. Selebihnya, sukses tidaknya kita serahkan kepada Allah swt.

Semakin hari, semakin banyak saja orang yang datang kepadaku. Mereka membawa masalah mereka masing-masing. Semula hanya tetangga, desa sekitar, desa sebelah, akhirnya menyebar dari berbagai penjuru. "Aku bukan malaikat. Aku bukan orang keramat." Demikian seringkali aku katakan kepada pasienku.

Hingga pada suatu waktu, selepas melaksanakan jamaah shubuh.

"Dek, maafkan aku," kata Mas Hasim, suamiku.
"Justru aku yang harusnya minta maaf, Mas!"
"Orang yang mendatangimu di malam separuh purnama itu adalah aku,...!"

Aku hanya melongo,....

Sumenep, 12 Februari 2014